Dunia, Washington - Sebuah dokumen kontroversial terkait dugaan keterlibatan Rusia dalam pemenangan presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump, menjadi perhatian publik. Seperti dilansir Daily Beast Rabu 11 Januari 2017, salah satu isi dokumen setebal 39 halaman itu adalah soal rencana pemerasan intelijen Rusia terhadap Trump.

Dokumen yang diduga ditulis oleh bekas intelijen Inggris ini menyebutkan intelijen Rusia menyadap hotel tempat Trump menginap di Moskow saat menjadi penyelenggara ajang Miss Universe 2013.

Hasil sadapan itu diduga memperlihatkan Trump yang menyewa sejumlah pekerja seks untuk melakukan aksi cabul di hadapannya.

“FBS (badan intelijen Rusia) memiliki bukti yang cukup untuk memeras Trump,” demikian laporan dokumen yang telah diserahkan kepada Direktur FBI James Comey oleh Senator John McCain pada Desember lalu.

Laporan lain bertanggal 19 Juli menyebutkan Carter Page, pengusaha yang didapuk Trump sebagai penasihat luar negerinya, bertemu secara rahasia dengan Igor Sechin. Pria ini adalah kepala perusahaan minyak pelat merah Rusia, Rosneft, sekaligus pembantu dekat Presiden Rusia Vladimir Putin.

Page juga dilaporkan bertemu dengan Igor Divyekin, pejabat dalam negeri dengan latar belakang intelijen. Dalam pertemuan itu, Divyekin diduga memberi tahu Page bahwa Moskow memiliki bukti yang dapat digunakan untuk memeras Trump.

Dua bulan kemudian, tuduhan terhadap Page muncul di media-media Amerika Serikat. Page, pendukung Kremlin di AS, menegaskan dalam pidato di Moskow pada Juli lalu bahwa ia tidak memiliki hubungan dengan pejabat Rusia. Pada September, ia menyebut laporan itu sebagai “sampah.”

Sebulan setelah kemenangan Trump, Page kembali ke Moskow untuk bertemu dengan pebisnis Rusia. Ia kembali menyebut bahwa laporan intelijen AS yang mengaitkan Rusia dengan kemenangan Trump adalah perburuan sia-sia.

Salah satu laporan lain pada Juli lalu juga menyebut tim Trump yang dipimpin Paul Manafort, bekas konsultan untuk politikus pro-Rusia di Ukraina, mengetahui bahwa Komite Partai Demokrat diretas.

Sebagai gantinya, “berjanji untuk mendukung Rusia dalam intervensi ke Ukraina dan mendesak komitmen AS/NATO di Baltik dan Eropa Timur untuk menjauhkan perhatian dari Ukraina.”

Beberapa hari kemudian, Trump mengungkapkan kemungkinan untuk mengakui aneksasi Rusia di Krimea dan secara terang-terangan mendesak Moskow meretas email rivalnya, Hillary Clinton. Pada Agustus, pekabat kampanye Trump mengintervensi kebijakan Republik, terutama membuang poin bantuan terhadap Ukraina.

Manafort mundur pada Agustus lalu dan tim kampanye Trump kini menjauh dari Page. Meski begitu, ia membantah tudingan berhubungan dengan Moskow. “Ini adalah kampanye hitam Harry Reid dan Clinton.”

Sejak saat itu, Trump terus menerus menolak dugaan keterkaitan Rusia dalam peretasan Demokrat, meski hal ini dilaporkan oleh 17 badan intelijen negara.  Setelah Obama mengusir 35 diplomat Rusia, Trump justru memuji Putin yang tidak melakukan tindakan balasan. “Saya selalu tahu bahwa dia cerdas,” kicau Trump.

Pengacara Trump, Michael Cohen, menyebut isi dokuemn tersebut palsu. “Sangat menggelikan di semua tingkat,” kata Cohen kepada Mic. “Orang membuat ini berdasarkan imajinasi dan berharap media liberal akan menyebarkan berita bohong itu.” Bantahan serupa juga dilontarkan juru bicara Trump, Kellyanne Conway.

THE DAILY BEAST | THE GUARDIAN | SITA PLANASARI AQUADINI

Baca:

Gedung Putih Sebut Putin Berperan Langsung dalam Pilpres Amerika Serikat